Hutan rimba yang masih asri. Hiduplah keluarga Mouci yang terdiri dari Bapak, Ibu dan tiga anak-anaknya yang masih menggemaskan. Pak Mouci adalah keturunan tikus terbaik, tidak seperti tikus-tikus lainnya yang terlihat menyeramkan dan dekil. Pak Mouci keturunan tikus-tikus kerajaan. Tubuhnya tambun, gagah dan bersih. Berwarna putih. Hidungnya yang merah dengan kumis panjang yang melintang menambah pesona ketampanannya walaupun hanya seekor tikus. Ia juga ramah, baik dan cerdas. Pak Mouci disukai sekelilingnya. Dengan begitu dua tahun lalu pak Mouci pun menikah dengan seekor tikus yang mempesona. Walaupun tikus betina itu berwarna abu, tetapi tidak menghilangkan pesona kecantikan warnanya, berwarna abu muda. Hidungnya merah jambu. Bulu matanya lentik. Dan giginya pun rapih bak manusia agak sedikit panjang di depan. Pak Mouci mengawininya. Kemudian lahirlah tiga bayi laki yang tampan dan lucu.
Dua minggu kemudian, musim hujan turun tak tertahankan. Badai besar. Gemuruh bersahut-sahutan. Petir menggelagar keras. Semua hewan meringkuk ketakutan di tempat persembunyian mereka. Tempat tinggal. Cuaca yang buruk menambah penderitaan. Suhu diluar sangat dingin. Persediaan makananpun setiap hari semakin berkurang. Diluar hujan badai. Tak ada yang berani keluar kecuali seekor tikus yang ingin mencari makanan demi anak dan istrinya.
“Suamiku, tunggulah sebentar hingga esok hari. Badai semakin menggila di luar. Bagaimana jika engkau terjebak dalam banjir besar hanyut dibawa arus dan hilang entah kemana. Aku sangat takut. Anak-anak masih terlalu kecil ditinggal ayahnya. Aku mohon, bersabarlah sebentar” istirnya mencegah dengan isak tangis.
“Istriku percayalah. Aku mampu melewati badai ini. Tubuhku lebih dari kuat untuk menerjang angin yang kencang. Aku diberi anugarah tubuh yang tambun oleh Tuhanku untuk mencari makanan untuk anak dan istriku. Kau lihat sendiri bukan, anak kita kelaparan karena setiap hari makan satu kali. Dan kita berdua terpaksa berpuasa menahan lapar kita demi anak-anak. Sudah cukup. Aku tidak may berdiam diri menunggu badai reda sampai esok hari. Aku tak tahan melihat istriku juga kelaparan. Sayangku, percayalah. Aku akan pulang esok sambil membawa buah-buahan dan sayur yang banyak. Tunggu saja dirumah. Jaga baik-baik anak-anak. Aku percayakan semua kepadamu istriku. Aku pamit.”
Di bawah pohon kelapa yang tertimbun bebatauan sehingga berbentuk gua kecil rumahnya yang hangat itu dengan isak tangis istrinya melepas kepergian suami yang dicintainya. Hatinya sangat takut. Firasatnya mengatakan bahwa hari ini ada badai besar disertai banjir. Hari ini adalah badai yang terakhir. Tetapi ia tidak bisa mnecegah suaminya yang tetap ingin keluar mencari makanan.
Pak Mouci berjalan sambil melihat kiri kanan ke arah utara sambil menerjang badai. Badai ini sangat menakutkan. Pantas saja tidak ada yang berani keluar kecuali hanya ia seorang mencari makanan. Di utara memang terdapat beberapa kebun buah yang sedang berbuah sangat lebat. Tiba-tiba baru satu sepuluh kilometer ia melangkah terdengar pohon yang sedang terserok-serok dan tanah menjadi bergetar. Pak Mouci berhenti memerhatikan dengan sekitar. Tidak ada tanda tanda sama sekali. Yang ia rasakan hanya tanah yang ia pijak bergetar. Pak Mouci ingin mengurungkan niatnya menuju utara tetapi hati kecilnya berkata hanya di utara buah itu melimpah. Dan ia menjadi teringat anak-anak istrinya di rumah yang sedang kelaparan mengunggu di rumah. Pak Mouci dengan perasaan was-was melanjutkan perjalanan menuju utara. Pantang takut.
Tetapi takdir berkata lain. Istrinya benar. Banjir besar dari sungai yang ada di utara akan datang. Pak Mouci melihat banjir besar itu datang ke arahnya. Ia terkejut dan langsung memutar arah. Kakinya berlari secepat mungkin tetapi tetap saja. Banjir itu menghanyutkan Pak Mouci hingga ujung selatan di sebuah rumah pemburu. Pak Mouci pingsan hingga pagi datang. Kepalanya terbentur dahan pohon yang besar saat menyelamatkan diri.
Sinar matahari perlahan-lahan menerobos celah-celah daun dan mengenai mata Pak Mouci. Pak Mouci siuman dari pingsan. Kemudian ia bangun dalam keadaan kakinya yang pincang terkena hentakan batu yang keras saat berenang. Pak Mouci berjalan dan teringat anak istrinya. Ia menyesal karena tidak mengikuti kata istrinya. Istrinya sungguh benar. Pak Mouci kembali menusuri jalan.
Untuk kembali ke utara sungguh jauh. ia sedang berada di ujung selatan. Ia bingung kemanakah harus mencari makanan jika keadaanya saja mengenaskan. Kaki pincang. Badan terasa sakit penuh lebam. Tubuhnya kotor terkena lumpur banjir. Dan tentu saja perutnya sangat kosong mengingat Pak Mouci terakhir kali makan tiga hari yang lalu. Dua hari ia berpuasa makan karena persediaan makanan habis. Pak Mouci kembali berjalan. Ia melihat rumah panggung di sana. Dan di rumah itu terlihat ada seorang anak kecil yang sedang bermain sambil memakan buah pisang. Di pikirannya pasti di rumah itu banyak makanan. Tanpa banyak pikir ia langsung menuju rumah panggung itu dan benar. Makanannya banyak sekali. Mulut Pak Mouci ternga-nga. Air liurnya tumpah. Ia sudah tiga hari tidak menyentuh makanan. Tanpa banyak cakap ia langsung menghabisi makanan yang ada di meja makan. Hatinya senang bukan main.
Tinggal sedikit lagi makanan yang ia hampir habiskan. Perutnya kenyang. Tetapi tiba-tiba ia teringat anaknya dirumah yang sedang kelaparan sedangkan ia dalam keadaan perut kenyang. Ia merasa bersalah. Kemudian Pak Mouci segera membungkus makanan yang ada di atas meja makan dengan plastik. Tetapi nasib buruk masih menimpa Pak Mouci tak berkesudahan. Saat memasukan makanan terakhir pemilik rumah datang dan melihat Pak Mouci di atas meja. Pemilik rumah yang seorang pemburu itu kalap. Ia marah sekali makanannya di habiskan oleh seorang tikus nakal. Pak Mouci terkejut dan langsung berhambur lari sambil menggigit plastik makanannya menuju pintu keluar. Pemburu itu sangat lincah lebih lincah dari Pak Mouci, ratusan hewan bahkan sudah telak diburunya dijadikan panganan hewan piaraannya yang buas. Akhinya Pak Mouci tertangkap oleh jaring yang lemaparkan pemburu itu.
“Hey tikus nakal. Rakus sekali kamu menghabiskan jatah makan sarapanku” sang pemburu mengangkat buntut Pak Mouci. Pak Mouci berusaha melarikan diri dengan menuju tangan pemburu itu dengan mengigitnya. Tetapi usahanya sia-sia. Tubuhnya yang tambun atau besar itu mempersulit gerakan tubuhnya.
“Mari ikut aku tikus nakal. Aku akan membawamu menuju kawan kita yang sedang kelaparan.” Pemburu itu berjalan. Dan menuju kamar mandi.
“Sebelum bertemu kawanku, sebaiknya kamu mandi dulu. Lihatlah tubuhmu yang tambun itu penuh dengan lumpur. Sini akan aku bersihkan.” Pemburu itu membersihkan badan Pak Mouci. Pak Mouci bingung mengapa tubuhnya di bersihkan. Memangnya siapa kawan si pemburu itu.
Pak Mouci terus berpikir. Jantungnya berdebar. Perasaan tidak enak hinggap di hatinya. Ada apa ini?
“Baik, kau sudah tampan sekarang. Kita akan bertemu kawanku yang sedang lapar di sana. Ia pasti sangat senang dengan kedatanganmu.”
Pemburu itu membawanya menuju ruangan yang hangat. Dan ternyata itun adalah ruangan peliharaan kesayangan pemburu itu. Ular sebesar lengan orang dewasa akan menelannya bulat-bulat. Kemudian Pak Mouci di masukan ke dalam kotak yang berisi bangkai tikus kecil yang ingin dijadikan makanan ular peliharaannya. Pak Mouci terisak. Ia teringat anak dan istrinya. Apakah istri dan anaknya baik-baik saja? Bagaimana kalau anak dan istrinya mati kelaparan menunggu dirinya tak kunjung pulang. Ia hanya pasrah menunggu kematian yang akan menjemputnya di kerongkongan sang ular besar itu. Pak Mouci hanya bisa menunggu sebuah keajaiban tuhan menyelamatkan dirinya yang terjebat dalam kotak yang sangat rapat ini.
Kemudian kotak makanan yang berisi tikus mati itu dibuka. Pak Mouci secara langsung melihat satu persatu tikus yang sudah mati itu menjadi santapan ular besar berwarna oranye. Ia terisak menunggu gilirannya menjadi santapan. Dan akhirnya Pak Mouci diangkat dan dimasukan ke dalam akuarium besar yang isinya satu ular besar berwarna oranye seukuran lengan orang dewasa.
“Tolong aku mohon. Jangan makan aku Tuan ular, jangan.” Pak Mouci berlari ke sudut akuarium menghidari ular besar yang menatapnya.
“Hey tikus bodoh. Jika kau sudah masuk ke dalam rumahku ini dan bertemu denganku di sini itu artinya kau ditakdirkan untuk ditelan olehku sebagai sarapan pagi.” Ular besar itu marah matanya melotot tajam ke arah Pak Mouci. Siap menerkam kapan saja.
“Tu…tu…tunggu Tuan ular. Ap…pakah Tuan ular sudah ke….ke…nyang. Tuan ular sarapan pagi ini sudah lima ekor tikus. Apakah tidak kekenyangan Tuan? Bagaimana kalau Tuan memakanku saat sore nanti. Tubuhku ini besar dan lezat Tuan. Jika Tuan memakannya pasi perut Tuan tidak akan kuat karena kekenyangan.” Pak Mouci dengan suara bergetar membujuk Ular itu dengan akalnya yang cerdas.
“Benar juga. Perutku sudah sangat kenyang pagi ini. Baiklah, aku ingin tidur dulu. Kau siap siap nanti sore akan menjadi santapanku. Ingat itu” ular itu akhirnya membalikan badannya ke arah menjauh dari pak Mouci dan ular tertidur pulas. Pak Mouci menghembuskan nafas sedikit lega. Karena ia belum benar benar selamat. Ia harus segera melarikan diri kalau tidak ia akan benar benar menjadi santapan ular besar peliharaan sang pemburu.
Pak Mouci segara memanjat ke atas akuarium. Segala cara sudah dilakukan dengan melompat. Merangkap untuk mencapai atas akuarium besar itu semua gagal dilakukan. Pak Mouci memutuskan mencari akal lain. Tetapi bagaimana caranya. Akuarium ini hanya berbentu persegi dengan kaca yang tebal dan tentu licin. Jari jariku kesulitan berjalan ke atas.
Pak Mouci kelelahan. Dan ia memutuskan untuk istirahat sebentar untuk mencari cara sebelum ular itu terbangun.
Ceklekk….
Pak Mouci bangun dari tidurnya. Sang pemburu datang dan memasukan lima ekor tikus mati ke dalam akuarium si ular besar warna oranye. Pak Mouci merasa ada yang aneh. Bukannya baru saja tadi diberi makan oleh sang Pemberu. Cepat sekali sudah diberi makan lagi. Pak Mouci terus berpikir karena ada yang ganjil dengan waktu yang terjadi begitu sangat cepat.
“Pemburu itu baik sekali kepada hewan peliharaannya. Mungkin karena peliharaan tersayang. Jadi dikit-dikit dikasih makan saking sayangnya.” Gumam Pak Mouci.
“Tetapi tadi Tuan ular bilang kalau jadwal makan kedua pado sore hari. Berarti…”
“Bodohhhhhhh…karena terlalu lelah jadi tertidur sangat pulas hingga sore hari. Aku memang bodoh bodoh bodohhhh sekaliiiii.” Mendengar teriakan Pak Mouci si Ular berwana oranye pun terbangun
“Hey bodoh, memang kau bodoh. Suara kau sangat menggangu tidur siang!.” Si ular mendesis marah, matanya melolot.
“Aku lapar, kehadiran kau sangat mengganggu ketenanganku. Lebih baik aku habisi kau tikus gendut.” Ular langsung menyaplok Pak Mouci. Dengan gesit Pak Mouci menghidar ke kanan. Kepala ular pun menabrak akuarium dan aww…
“Kemari kau tikus gendut, kau tidak akan bisa lari dariku. Kau sudah ditakdirkan aku makan.”
“Aku mohon, jangan Tuan Ular. Aku mohon.” Pak Mouci meminta ampun. Ular tidak peduli sama sekali. Kembali kejar-kerjaran macam serial Tom And Jerry. Bedanya kalau ini tikus dengan ular.
Ular mengejar Pak Mouci hingga ular itu terlihat lelah karena ia baru saja bangun tidur. Sisa makanan di perut sudah terkuras habis oleh tidurnya. Tidur juga menghabiskan energi kawan, diitambah Pak Mouci berlari dengan sangat gesit sedangkan tubuh si ular itu sangat besar. Ia kesulitan menggerakan badannya yang sebesar lengan orang dewasa.
“Arghhhhhhhhh… sudahlah….. aku lapar, mengejarmu malah membuatku semakin lapar. Untung di sini sudah ada makanan. Kalau tidak bisa tersiksa tubuhku mengantuk kelaparan karena mengejar tikus bebal seperti kamu.” Si ular balik badan setelah mendesis galak kepada Pak Mouci. Pak Mouci tersenyum kecut. Ia sendiri masih merasa khawatir walaupun dua kali terselamatkan dari taring super tajam ular besar itu. Bahkan bukan hanya taringnya yang menancap tubuh tetapi ia akan menetap di perut si ular besar selama-lamanya tanpa nyawa dan tanpa melihat anak istri untuk terakhir kalinya.
Pak Mouci kembali memikirkan cara bagaimana ia bisa keluar dari akuarium besar nan licin itu. Ia memojokan diri menjau dari si ular besar oranye itu sambil memejamkan mata. Pikirannya berkelebat kemana-mana. Cara pertama, akuarium setinggi lima meter itu bisa di panjang bukan dengan merangkap di sepanjang akuarium, tetapi dengan cara melompat. Tapi bagaimana melompat setinggi itu. Badannya yang gemuk itu memperhambat lompatannya. Lalu ia melihat ke arah si ular yang sedang menyantap makan sore. Pak Mouci menemui ide. Bagaimana jika tubuh si ular besar itu di jadikan tumpuan lompat jauh atau arti lain sebagai tolak peluru dan set… ia sudah mendarat di atas kemudian melarikan diri. Tetapi percobaan itu hanya bisa sekali. Ia akan selamat kalau berhasil. Kalau gagal? Ular terbangun dan segera mendesis marah lalu tanpa berpikir dua kali si ular akan memakannya hidup-hidup. Ah..
Tanpa disadari pak Mouci, diseberang sana ular besar oranye itu memperhatikan pak Mouci yang sedang menutup matanya di pojokan akuarium. Ini kesempatan besar bagi ular besar oranye uuntuk memakannya hidup-hidup tanpa pikir panjang ia langsung menuju ke pojokan tempat Pak Muci sedang berpikir sambil menutup matanya. Bahaya mengancam Pak Mouci. Pak Mouci saking seriusnya ia tidak mendengar suara apapun. Ia tetap fokus untuk berpikir. Inilah kesalahan Pak Mouci, ia membiarkan dirinya tanpa penjagaan dan persiapan apapun sedangkan ular besar oranye itu belum tertidur karena kekenyangan, masih menyantap makanannya. Tinggal beberapa meter lagi. Mulut ular besar oranye itu terbuka lebar dengan taringnya yang tajam dan mengkilap. Jaraknya tinggal sejengkal lagi, Pak Mouci masih menutup matanya. Tinggal beberapi senti lagi dan mulur ular besar oranye itu siap menggigit kapanpun. Dan…
“Eugrrrhhhhhhhhh……” tiba-tiba ular besar oranye itu bersendawa kekenyangan.
Pak Mouci membuka matanya. Ia ketakutan di depannya sudah ada ular besar oranye yang mau menerkamnya. Bau mulut sisa memakan bangkai tikus ular besar oranye tercium. Baunya menguar kemana-mana.
“Duh, perutku kenyang sekali. Entah kenapa. Kalau aku melanjutkan memakanmu perutku terasa mulas dan rasanya ingin muntah. Ah, aku tunda saja lah. Mending aku lanjutkan tidur nyenyak.” Katanya dengan muka meringis menahan muntah
“Tuan ular?” Pak Mouci memanggil. Ular besar oranye menoleh
“Ya, ada apa? Jangan macam macam. Aku sedang tidak mau berkejar-kejaran denganmu.”
“Tuan ular bolehkan aku bercerita suatu kisah dongeng sebagai pengantar tidurmu? Agar tidurmu nyenyak mendengar cerita barang dua menit sepertinya menyenangkan.”
“Kau tidak sedang membodohiku kan?”
“Sungguh tidak Tuan ular, aku hanya ingin suasana di antara kita tidak terlalu kaku lagi. Aku punya beberapa kisah menarik. Dongeng pengantar tidur untukmu.”
Ular besar oranye berpikir sejenak. Matanya yang tadi terlihat menyeramkan. Kini terlihat sayup-sayup sedih. Ada rona kesedihan di wajahnya.
“Aku sangat merindukan Ibu. Dulu waktu bersama Ibu, setiap malam sebelum tidur, ibu selalu menceritakan dongen untukku hingga aku tertidur lelap di pangkuannya. Aku rindu ibu. Tetapi tak mangapa aku sudah besar. Aku mandiri. Aku tidak butuh ibu lagi. Baiklah, saranmu boleh juga. Untuk mengenang ibuku kau boleh bercerita sebagai pengantar tidurku.”
“Baiklah Tuan Ular dengan senang hati. Eh tetapi sebelumnya apakah Tuan ular pernah mendengar dongeng Pied Piper of Hemelin?”
Si ular besar oranye berpikir sejenak. “Belum.” Jawab si ular besar oranye.
Kemudian pak Mouci mulai berdongeng cerita Pied Piper of Hemelin. Dongeng itu bercerita tentang seorang pekerja yang bekerja sebagai pengusir atau pembasmi tikus di sebuah kota dengan menggunakan serulingnya. Ia memainkan seruling sambil mengelilingi kota kemudian tikus-tikus itu dengan sendirinya akan terpikat dengan suara yang keluar dari seruling tersebut. Akhirnya tikus-tikus itu dengan bergerombol mengikuti pembasmi tikus itu kemana pun ia pergi. Pembasmi tikus itu membawanya pergi jauh untuk mengusir tikus-tikus yang meresahkan warga sekitar kota. Tetapi akhir cerita ini sangat tragis dan menakutkan. Bukan hanya tikus-tikus. Entah apa yang membuat seruling itu menjadi sangat mistis atau mempunyai kemenarikan sendiri. Seruling itu bukan hanya membawa tikus-tikus nakal tetapi juga membawa anak-anak yang sedang bermain di luar. Dan si pembasmi tikus itu membunuh 129 anak kecil. Menyeramkan. Baca kisah lengkapnya ya adek-adek
Di hari berikutnya. Si ular besar oranye sudah tidak selera lagi memburu pak Mouci untuk dijadikan santapan makan siang. Pak Mouci diminta berdongeng pengantar tidur. Pak Mouci berdongeng kisah ‘Hansel dan gretel’ kakak beradik yang heroik sambil petualang mengalahkan iblis, kemudian ‘Tiga Babi kecil’, ‘si kerudung Merah’ dan yang terakhir Pak Mouci bercerita tentang dirinya sendiri. Terseret banjir bandang saat mencari makanan untuk anak istrinya di rumah. Lalu terdampar jauh di rumah pemburu, kemudian terjebak di kandang ular besar dan hampir mati karena ditangkap pemburu untuk dijadikan santapan makan pagi hewan peliharaannya dan akhirnya tidak bisa pulang. Hanya Tuhan-lah yang menentukan apakah ia akan kembali pulang ke rumah anak istrinya atau pulang ke dalam perut hewan peliharaan si pemburu.
“Kasihan sekali hewan itu. Malang nasibnya.” Gumam si ular besar oranye saat Pak Mouci selesai menceritakan.
“Begitulah.” Kesedihan terpancar dari wajah Pak Mouci. Ia sangat merindukan Istri dan ketiga anaknya di rumah.
“Oi, tapi dari awal kau bercerita, kau tidak menyebutkan ia manusia atau hewan yang sedang tersesat hanya menyebutkan seorang bapak, anak, istri bla bla bla. Apakah ia hewan atau manusia? Kisah ini kau bilang jelas kisah nyata bukan dongeng.” Tanya si ular besar oranye dengan rasa ingin tahu.
“Bapak yang malang itu seekor hewan.”
“terus?”
“Seekor tikus” Pak Mouci menunduk dalam dalam
“Bagaimana kau bisa tahu? Apakah ia teman mu atau saudaramu?”
“Bukan Kedua-duanya”
“Lantas?”
“Itu Aku.”
“….” si ular besar oranye tidak kuasa untuk berkata-kata lagi.
***
Di sebuah ruang makan yang hangat. Angin menggerakan api sumbu lilin di atas meja makan. Angin malam dari timur. Musim kemarau akan datang. Bapak dari tiga anak itu tersenyum bahagia melihat anak-anaknya yang bertumbuh mulai besar menggemaskan makan dengan lahap. Istrinya mengambil piring, lalu mengambil lauk makan malam untuk suami tercinta dan meletakan di depan suaminya dengan lembut sambil menatap wajah suami tercinta.
“Ayo dimakan sayang.” Istrinya berkata lembut.
Suaminya yang bernama pak Mouci tersenyum manja. Senang di perhatikan oleh istrinya. Hari ini adalah hari terindah. Bagi Pak Mouci semua hari adalah terindah. Semua hari ia syukuri. Apapun yang terjadi. Mau susah atau pun senang ia harus bisa tersenyum selalu. Pelajaran hidup nomor satu. Tersenyum dikala apapun situasi yang terjadi menimpanya.
Seminggu yang lalu Pak Mouci kembali ke rumah kecil yang hangat itu dalam keadaan sangat baik dan sehat. Setelah mendengar cerita kisah nyata pengantar sebelum tidur si ular besar oranye menatapnya dengan iba. Lalu si ular besar memperbolehkan Pak Mouci pulang. Pak Mouci dibantu si ular besar oranye untuk keluar dari akuarium raksasa. Si ular besar oranye juga memberi tahu jalan pulang alternatis atau jalan pintas yang cepat menuju utara ke rumahnya. Si ular besar juga pun memberi tahu bahwa si pemburu mempunyai banyak simpanan makanan di laci dapur. Pak Mouci bisa mengambil untuk dibawanya pulang. Kebetulan si pemburu jam sembilan pagi pasti sedang ke hutan. Kemudian Pak Mouci berterima kasih kepada si ular besar oranye. Pamit pulang.
“Hey tunggu.” Si ular besar oranye berteriak memotong langkah Pak Mouci. “Kita belum berkenalan. Namaku Rino, senang bertemu dengan kamu tikus gendut. Hampir saja kau ku makan.” Si ular besar oranye tertawa.
“Senang juga bertemu dan tidur bersama denganmu Tuan Rino ular.” Pak Mouci berteriak agar terdengar. “Oh ya, namaku Amsakamouci. Panggil aku Pak Mouci karena aku sudah menjadi bapak dari anak-anakku.”
“Baiklah Pak Mouci. Salam untuk anak-anak dan istrimu dari paman Rino. Sampaikan maafku untuk mereka karena baru bisa mempulangkan bapaknya ke rumah.”
“Baik akan ku sampaikan.” Pak Mouci tersenyum haru. Kemudian berlari melanjutkan perjalanan pulang.
Tamat